Siapakah
Sesamaku Manusia?
Luk
10:25-34
Kendati memiliki pengetahuan yang
luas tentang Kitab Suci tidak berarti hidupnya bertumbuh berdasarkan kebenaran.
Lihatlah ahli Taurat bertanya dengan angkuh memamerkan diri sebagai orang saleh
yang nampak saat ia mencobai Yesus dengan bertanya “Guru, apa yang harus
kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (ayat 25). Ahli Taurat punyai anggapan bahwa orang dapat mewarisi hidup
kekal melalui perbuatan membenarkan diri (ayat 25-29). Namun jawaban Tuhan
Yesus sungguh mencengangkan dengan mengacu pada Ulangan 6:5, bahwa hidup kekal
bukanlah perkara warisan tetapi menyangkut relasi intim dengan Allah. Jadi
faktor yang menentukkan bukanlah perbuatan manusia tetapi kondisi dan sikap
hati yang mengasihi Allah.
Ahli Taurat ini walau menguasai
hukum-hukum Tuhan yang diintisarikan kedalam dua hukum kasih, ternyata tidak
siap untuk melakukannya dalam hidupnya. Hal ini jelas dari farasa, “Siapakah
sesamaku manusia?” (ayat 29). Ahli Taurat ini mewakili kebanyakan orang Yahudi
pada masa itu melihat sesama manusia hanyalah sesama Yahudi. Tuhan Yesus
menjawab dengan memberikan suatu perumpamaan orang Samaria yang baik hati.
Yesus membongkar anggpan ahli Turat, bahwa ternyata tidak ada satu pun dari
para rohaniawan dalam perumpamaan tersebut yang betindak manusiawi terhadap
orang-orang menjadi korban perampokan (ayat 31-32), namun justru Samaria-lah
yang dianggap lebih rendah menurut orang Yahudi menunjukkan belas kasihnya dan
menolong orang yang malang itu (ayat 33). Sementara iman dan orang Lewi dalam
perumpamaan tersebut justru berusaha menghindar, takut dilibatkan dan ambil
resiko, padahal keduanya adalah tokoh agama yang biasa mangajarkan prilaku yang
baik sesuai ajaran agama. Ternyata hanya mampu bersimpati kepada sesama Yahudi
sementara.
Selalui perumpamaan tersebut Tuhan
Yesus ingin mengajarkan tentang para ahli Taurat bahwa yang berkenaan
dihadapan-Nya bukanlah yang merasa diri menguasai hukum Taurat tetapi bagaimana
dia hidup berdasarkan kebenaran itu sendiri. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa
kasih kita kepada Allah akan terwujud melalui kasih kita kepada orang lain.
Bila orang mengasihi maka ia akan memahami siapa gerangan dirinya dihadapan
Allah dan bagaimana seharusnya memperlakukan sesamanya, siapapun dia (tanpa
memandang suku, bahasa, agama dan bangsa), sehingga bukan lagi mencari siapa
yang layak disebut sesamanya, sebaliknya ia harus berpikir bagaimana dia bisa
menjadi sesama bagi orang lain. Saat kita tidak peduli dan menunjukkan kasih
kepada orang lain ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya kita belum mengalami kasih
karunia Allah. Mari alami relasi dengan Allah setiap hari agar kita dapt
melihat sesama kita dengan kasih yang daripada-Nya. Tuhan Yesus memberkati!.
Amin
Komentar
Posting Komentar