Gereja
Tanpa Tembok
Dalam Yakobus 2:1 Yakobus mengingatkan kita
untuk tidak memandang muka, isu yang dilontarkan oleh Yakobus adalah mengenai jemaat yang suka membedakan antara yang kaya
dan orang miskin. Isu ini merupakan yang sangat pelik di dalam seluruh
perjalanan sejarah gereja. Gereja akan menuju kepada kehancuran ketika memulai
memandang muka. Hal ini tidak hanya berlaku untuk zaman awal kekristenan tetapi
juga berlaku sampai saat ini.
Saudara-saudara....., pernah tidak sih
terbayang apa yang dikuatirkan oleh Yakobus dalam teks pembacaan Alkitab kita
pada hari ini, itu terjadi benar-benar
di sana pada waktu itu?
Saya kebayang.... tentang orang-orang yang
dikatakan oleh Yakobus dalam ayat yang ke 3, dan kamu menghormati orang yang
berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: “Silahkan tuan duduk di tempat yang
baik ini”, sedangkan kepada orang yang miskin itu kamu berkata: “Berdiri di
sana!” atau “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku”,
Mereka pasti adalah orang –orang yang dengan
mudahnya mengubah raut wajah mereka,
mungkin hanya sepersikian detik mereka bisa mengubah tampak muka mereka itu....
·
Dari wajah yang manis.....
menjadi asam-pahit
·
Dari yang tampak ramah.....
jadi....sangar
Goba saja ditest, di ayat tiga itu kan ada
tiga kalimat:
1.
Silahkan tuan duduk di tempat
yang baik ini!.
2.
Berdirilah disana!.
3.
Duduklah di lantai ini dekat
tumpuan kakiku!.
Coba itu tiga kalimat cocoknya pake raut dan
nada suara yang gimana? Cocok tidak kalimat yang nomer 2 dan 3 itu pake wajah
manis dan ramah? Cocok? Ah yang bener! tidak cocoklah!.
Saya tidak tahu apakah jemaat yang diingatkan oleh Yakobus ini sudah
se-ekstrim yang kita baca atau belum. Akan tetapi kalau kita baca seperti kayak
ayat tiga tadi itu... yang berarti kemungkinan besar memang kejadiannya sudah
pernah terjadi.
Saudara-saudara...., pada Konteks
Yakobus 2:1-4, orang miskin datang ke sinagoga (rumah ibadah). Ada orang
miskin yang pakaiannya kumal, kotor dan dekil. Mereka dianggap jahat, suka
mengambil barang orang lain, meresahkan dan mengganggu. Kehadiran mereka
dianggap benalu oleh sebagian orang yang beribadah disana, oleh beberapa orang
Kristen. Sementara orang yang kaya, dianggap lebih bermartabat dan layak
dihormati. Mereka beroleh perlakuan yang sangat berbeda dengan orang-orang
miskin. Sampai saat ini tidak jauh berbeda, dalam pola dunia yang kompetitif
ini perhatian orang seringkali tertuju kepada orang-orang “besar”, yaitu mereka
yang sukses dan terkenal di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, orang-orang
“kecil” dan “lemah” biasanya cenderung tidak dipandang orang.
Surat Yakobus yang selalu berupaya menghubungkan
iman dengan praktek hidup setiap
hari, mengajak pembacanya untuk
bersikap seperti orang beriman seharusnya. Iman dan kesalehan hidup, tidak
nampak dan sesuatu yang lahiriah seperti pakaian dan uang, melainkan dan cara
kita memperlakukan orang lain. Yakobus mengingatkan bahwa keselamat itu nampak
melalui hidup baru dan cara kita memperlakukan mereka yang selama ini dianggap
hina. Jangan memandang muka!.
Dalam kehidupan bergereja sekarangpun kadang-kadang hal yang seperti itu
juga bisa terjadi, berkenaan dengan hal ini. Sebab itu Yakobus menegur jemaat
Tuhan. Seringkali kita jumpai gereja memperlakukan orang-orang berada secara
istimewah (Yak 2:2-3a). Sebaliknya, orang-orang yang tak punya mereka pandang
hina (Yak 2:3b-4). Maka dalam kehidupan berjemaat, penting sekali dibina dan
dikembangkan sikap saling peduli. Anggota yang satu tidak boleh berkata kepada yang
lain: “Aku tidak membutuhkan engkau.” Sebab tubuh Kristus itu dapat diibaratkan
seperti tubuh manusia, di mana anggota-anggota tubuh yang tampaknya paling
lemah yang paling dibutuhkan.
Saudara-saudara...., maka pertanyaan pentingnya adalah apakah kejadian-kejadian
seperti dalam ayat tiga itu masih terus bisa kita temukan sampai dengan hari
ini...
Mungkin tidak se-ekstrim seperti yang kita
baca dalam ayat tiga. Tetapi justru karena tidak ekstrim seperti ayat tiga itu,
bukannya itu jadi lebih menakutkan? Yang ekstrim menakutkan...yang tidak
ekstrim jauh lebih menakutkan lagi.
Orang bisa duduk bersama, tetapi sebenarnya
mereka terpisah. Temboknya gak kelihatan. Duduk bersama tetapi diem-dieman,
senyum pas berhadapan muka, tetapi di belakang cemberut.
Tembok yang paling menakutkan adalah tembok
yang seseorang bangun tetapi tidak pernah kasat mata.
Hari ini, mari kita lihat hidup kita...
apakah kita sedang membangun sebuah tembok pemisah atau kita sedang mau
menghancurkannya?
Kuncinya...Ayat
4 bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai
hakim dengan pikiran yang jahat?
Susah ya kuncinya... karena kuncinya meruntuhkan keinginan untuk membangun
tembok pemisah itu adalah keluar dari hati kita masing-masing. Mendamaikan
dirinya sendiri sebelum berdamai dengan orang lain yang ada di sekitarnya.
Sekali lagi... ayat empat menjadi kuncinya. Kita bukan hakim. Oleh sebab
itu berhentilah bersikap bak seorang
hakim yang menghakimi. “tapi dia
sudah begitu nyakitin!” Stop. Itu urusan dia atau mereka sama Tuhan.
Yakobus 2:4 menyatakan bahwa ketika kita
melakukannya dengan penghakiman/penilaian yang salah. Kalau gereja tidak lagi
bisa memberikan penilaian secara tepat maka tidak ada lagi pengharapan bagi
dunia ini. Tugas kita hanya sampai pada menjaga
hati dan pikiran kita tetap damai dan berusaha untuk berdamai dengan diri
sendiri dan semua orang. Cuma itu saja. Selebihnya...kasih ke Tuhan. Dia
tahu apa yang harus Dia lakukan untuk kita, untuk Dia....atau untuk mereka.!
Maka dari itu... siapapun, bagaimanapun
keadaanya dan dari manapun orang yang berbeda dengan kita sambutlah mereka
seperti Tuhan telah menyambut kita, itulah artinya Kasih. Gereja sejati akan
mengajar jemaat untuk beriman kepada Tuhan. Ketika semua berfokus kepada Tuhan
maka akan membangun kehidupan bergereja yang beres. Iman akan bertumbuh
sehingga persekutuan pun menjadi sehat. Tuhan Yesus memberkat!. Amin
Komentar
Posting Komentar